Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saudaraku..terkadang apa yang kita benci justru mendatangkan kebaikan,
sebaliknya apa yang kita sukai tak jarang mendatangkan kesusahan. Janganlah
kita merasa aman dengan kesenangan, karena bisa saja menimbulkan kemudharatan.
Namun jangan pula berputus asa jika mengalami kesulitan karena bisa jadi
mendatangkan kesenangan di kemudian hari.
Mari kita renungkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini: “.....Boleh
jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang
kamu tidak mengetahui.” ( QS. Al Baqarah: 216 ).
Saudaraku..hanya Allah yang mengetahui apa yang terbaik dan terburuk untuk
kita. Hal ini karena pengetahuan Allah tidak terbatas, sedangkan apa yang kita
ketahui amatlah terbatas. Kita hanya mampu menilai apa yang tampak dan mudah
dipahami seketika. Oleh karena itu kita harus menyandarkan diri , berserah diri
dan memohon petunjuk kepada kebijaksanaan Allah. Apa yang terbaik menurut-Nya
pasti terbaik untuk kita. Sesungguhnya setiap hal atau kejadian di dunia ini
tak luput dari kehendak Allah pula. Kita hanya menjalani apa yang telah
ditetapkan-Nya.
Saudaraku..silahkan ditag/share,silahkan kunjungi dan gabung dengan halaman
kami dengan klik link di bawah ini lalu klik SUKA.Insya Allah bermanfaat.
Bismillahirrahmaanirrahiim
SIANG sudah beranjak petang. Namun, cahaya matahari masih terasa panas dan
menyilaukan. Inilah saat-saat di mana teriakan itu kembali terdengar,
“Lontong-tahu, peyek, telor asin!” Terdengar setiap hari, menyapa telinga warga
komplek terutama ibu-ibu yang keluar rumah mengawasi anak-anak kecilnya yang
bermain di luar rumah.
Suatu hari teriakan itu kembali terdengar lantang, “Lontong-tahu, peyek, telor
asin!” Seorang ibu muda tergopoh-gopoh menghampiri, “Bang, ada telor asin?”
Abang pemilik suara itu pun dengan wajah menyesal menjawab, “Wah, nggak ada Bu.
Telor asinnya lagi kosong.” Si Ibu pun menatap si Abang penjual tahu dengan
heran, “Lha, tadi teriak lontong-tahu, peyek, telor asin. Kok telor-nya nggak
ada?” dumelnya sambil berlalu masuk ke kerumah.
Hari berikutnya seorang ibu lain menghampiri si Abang penjual lontong-tahu
tersebut. Sesaat setelah teriakannya menyapa telinga, “Lontong-tahu, peyek,
telor asin!” Ibu tersebut bertanya, “Bang, ada telor asinnya nggak?” Kali ini
si Abang menjawab, “Telor asin lagi susah, Bu!” Kini, si Ibu lebih galak,
memprotes si Abang, “Nggak ada telor asinnya kok teriak telor asin!” Si Abang
pun hanya senyum mesam-mesem.
Entah berteriak tiga serangkai “lontong-tahu, peyek, telor asin” merupakan satu
kesatuan bunyi yang telah dihapal oleh si Abang atau memang si Abang kadung
lupa bahwa salah satu barang yang ditawarkannya ternyata tak ada. Yang jelas
teriakan si Abang hari-hari berikutnya tetap sama. Mengulang teriakan yang
sama, menyapa telinga dengan bunyi dan intonasi yang sama, informasi yang
disampaikannya pun selalu berulang, “Lontong-tahu, peyek, telor asin!”
Menarik sekali memperhatikan polah si penjual lontong-tahu di atas. Sesuatu
yang diulangnya entah berapa ribu kali sepanjang sejarah profesinya sebagai
penjual lontong-tahu, telah membuatnya fasih mengucapkan rangkaian kata
tersebut. Tanpa harus membuatnya berpikir-ulang tentang kebenarannya.
Kekuatan Repetitive (Pengulangan)
Repetitive atau pengulangan memang sebuah metode yang dikenal dalam dunia
pembelajaran. Allah pun mendidik kita dengan metode repetitive ini melalui
shalat. Shalat yang wajib didirikan lima waktu sehari agar setiap Muslim
membuktikan ketaatan dan mudah memahami makna kehidupan.
Allah berfirman, “Sungguh, Robbmu, Dialah Yang Maha Pencipta, Maha Mengetahui.
Dan, sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang (dibaca)
berulang-ulang dan Al-Quran yang agung” (Qs. Al-Hijr 87).
Tujuh ayat yang dimaksud oleh ayat di atas, oleh sebagian ulama diartikan
dengan surat Al-Fatihah yang dibaca seorang Muslim berulang-ulang sebanyak 17
kali dalam sehari. Hal ini tentu merupakan metode pembelajaran dari Allah agar
hamba-Nya memahami hakikat sejati kehidupan. Sebagai ciptaan yang tak dapat
berlepas diri dari kehendak dan pertolongan-Nya. Sebagai abdi yang seharusnya
selalu memohon agar kebersamaan dengan Allah dalam bentuk ketaatan, senantiasa
dikaruniakan-Nya, agar Sang Pencipta berkenan menghindarkannya dari kejahatan
dirinya sendiri maupun mahluk lain. Sehingga kelak ia akan pulang dalam
kehidupan surga yang abadi.
Arah dan tujuan hidup inilah yang selalu diingatkan berulang kali oleh Allah
pada kita, sebagai hamba, agar selalu ingat dan meluruskan langkah. Agar kita
pun mengetahui dengan pasti ke mana kita harus melangkah, apa yang harus
digunakan saat tersesat agar dapat kembali, dan apa yang mesti diyakininya
tanpa banyak mempertanyakan.
Semuanya hanya dapat diperoleh, tak lain, hanya dengan meneguhkan ketaatan dan
keyakinannya. Dengan cara mengulang-ulang dalam benak kita bahwa Allah, hanya
Dia sajalah, Rabb yang Mahakuasa, Maha Menyayanginya, dan tak pernah
mengharapkan sesuatu dari hamba-Nya kecuali kebaikan bagi mereka.
_ _ _
[‘Aliya/voa-islam.com)
Edited by HAA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar